Berastagi Kini, Ironi Sebuah Kota Turis
Berastagi Kini, Ironi Sebuah Kota Turis
* Bertemu Wisatawan Mancanegara di
Berastagi Tak Lagi Mudah, Tapi Vila dan Perumahan Bertebaran
Laporan : Herry Suranta
Surbakti, Wartawan SIB
Jumat dan Sabtu siang, 28-29-Januari
kemarin di sekitar Tugu Berastagi.
Berjam-jam kami duduk menunggu orang bule di kawasan yang dulu dikenal
ramai dengan lalu-lalang turis itu, namun tak seorang pun tampak wisatawan
mancanegara (turis asing) melintas.
Menjelang sore muncul Emil,
seorang ‘’guide’’ (pemandu wisata) yang kebetulan teman kami. Ia
menyarankan, ”Kalau mau jumpa bule sebaiknya datangi saja ke hotel (sambil
menyebut beberapa nama hotel kecil), mungkin di sana ada. Kalau menunggu di sini terus sampai malam pun
mungkin tak ada turis yang lewat.”
Separah itukah, sampai-sampai turis asing pun seakan langka di
Berastagi? Pertanyaan kami dijawab sang pemandu wisata dengan tawa.
Yah, Berastagi,
kota kecil berhawa sejuk di daerah pegunungan (dataran tinggi) Karo yang sejak
lama dikenal sebagai kota turis, bagaimanakah kabarnya kini? Seberapa ramai –atau seberapa sepi– turis di
kota yang sering dijuluki sebagai puncak pas-nya Sumatera Utara ini?
Sangat boleh jadi, predikat yang
disandang Berastagi sebagai kota turis –kota yang ramai dengan wisatawan
mancanegara– saat ini kontras dengan situasi kepariwisataannya. Lihat
saja, turis yang datang sangat minim,
bahkan mungkin hanya puluhan orang per bulan, sehingga kini tidak mudah lagi
menemukan bule di jalan-jalan, pasar dan tempat umum di kota Berastagi
sebagaimana beberapa tahun lalu.
Karena itu pula
beberapa hotel berbintang, losmen dan wisma di Berastagi, sebutlah Hotel Rose
Garden atau Hotel Mutiara, terpaksa berhenti beroperasi dan dialihkan penggunaannya
sejak arus kedatangan wisatawan menurun secara drastis. Akibat lain dari minimnya turis adalah
dampaknya pada pengelolaan sejumlah obyek wisata yang menjadi terasa kurang
optimal. Ini wajar mengingat sebab-akibat
dari banyaknya turis adalah ramainya pengunjung obyek wisata dan meningkatnya
dana pemasukan untuk pengelolaan obyek. Bahkan Taman Rekreasi dan Kolam
Berastagi di Jalan Kolam pinggiran kota Berastagi yang dulu selalu ramai
dikunjungi orang, kini tak terawat dan kondisinya benar-benar memprihatinkan.
Bangunannya banyak yang mulai hancur atau sudah tertutup ilalang dan semak
belukar. Inilah barangkali gambaran dari
sisi suram kondisi kepariwisataan di kota turis Berastagi.
Padahal beberapa
tahun silam Berastagi benar-benar padat dengan arus kunjungan wisatawan asing.
Sekedar gambaran, bila kita berjalan dari pajak bawah atau terminal Berastagi
menuju ke Tugu atau pajak buah di Jalan Gundaling, dapat dipastikan di sepanjang perjalanan yang
berjarak sekitar 300 meter itu kita akan berpapasan dengan sedikitnya belasan
orang bule. (Begitu juga dengan rute sebaliknya, dari tugu menuju pajak bawah).
Apalagi kalau perjalanan tadi diteruskan ke arah Bukit Gundaling, niscaya turis
mancanegara bisa ditemukan di mana-mana. Bule berkeliaran sendiri, berpasangan
maupun berkelompok, dengan sikap dan penampilannya yang acuh dan khas. Di sore hari kerap tampak bule ngopi sembari
ngobrol dengan warga di warung-warung penduduk.
Di warung lain, terlihat turis tengah main catur dengan anak muda atau
bapak-bapak warga setempat. Soal main catur ini, memang saat itu di penginapan
yang banyak dihuni turis mancanegara sering ditempelkan selembar kertas berisi
tantangan dari penduduk yang jago catur untuk bertanding melawan bule. Di kertas itu disebutkan juga nama sang
jagoan catur setempat dan kedai kopi tempat ‘‘pertandingan’’ berlangsung, lengkap dengan denah lokasinya, serta besar
taruhan –yang nilainya lebih sering sekedar cukup untuk beli rokok dan sedikit
puding–.
Wajar kiranya
Berastagi ramai dikunjungi turis, mengingat daerah yang berhawa sejuk ini
berjarak hanya 67 km dari Medan atau sekitar 2 jam perjalanan mobil. Selain itu
Berastagi sekitarnya menyimpan pesona sejumlah obyek wisata yang menarik. Sekedar menyebut nama, Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Barisan
Tongkoh, Bukit Gundaling Berastagi, pemandian air panas (water hot-spring) di
Raja Berneh dan Lau Sidebuk-debuk Doulu, air terjun Sikulikap, wisata alam di
Gunung Sibayak, obyek wisata budaya
rumah adat Karo ‘Siwaluh Jabu’ (satu rumah dihuni delapan keluarga) di Peceren
dan Lingga. Kini malah tak bisa dilupakan Hotel Mickey Holiday yang seakan
sudah menjadi obyek wisata tersendiri di Berastagi. Setiap akhir pekan dan hari libur ratusan
(bahkan kadang mencapai seribuan) warga dari Medan dan kota lain berlibur ke
lokasi yang menyediakan fasilitas aneka permainan keluarga yang terlengkap di
Sumatera Utara ini. Apalagi setelah
Taman Ria Medan tutup beberapa waktu lalu,
otomatis Mickey Holiday makin banyak dikunjungi terutama untuk liburan
keluarga.
Namun gelombang
krisis moneter yang melanda Indonesia pada akhir tahun 90-an membawa pengaruh
negatif yang tidak sedikit terhadap iklim pariwisata di Berastagi. Puncaknya saat peristiwa peledakan bom di
Bali pada tahun 2002, yang berimbas pada terpuruknya kepariwisataan nasional
akibat turunnya secara drastis arus kedatangan wisatawan mancanegara, terutama
dari negara-negara Amerika, Eropa dan Australia. Perlahan tapi pasti situasi Berastagi sebagai
kota turis ikut berubah, tak seramai dulu lagi.
Kita tentu tak
ingin terjebak dalam sebuah nostalgia belaka yang sekedar mengenang masa lalu
dan zaman ‘kejayaan’ Berastagi sebagai kota turis. Tapi untuk bisa bangkit kembali ke seperti
masa jaya dulu, tentu Berastagi (baca : Tanah Karo) butuh waktu dan
proses untuk mengaktualisasikan dirinya sebagai kota turis dan daerah tujuan
wisata. Dalam konteks ini sudah pasti juga masih banyak persoalan yang harus
diselesaikan dan hal-hal yang harus dibenahi.
Tapi
bersyukurlah, pariwisata di Berastagi masih menggeliat dengan ramainya Hotel
Mickey Holiday tadi, juga kehadiran begitu banyak perumahan dan vila yang telah
mengubah lahan pertanian masyarakat menjadi belantara bangunan beton. Barangkali itu jugalah gambaran dari sisi cerah
Berastagi sebagai kota turis : minimnya jumlah kedatangan wisatawan mancanegara
mungkin masih bisa ditutupi dengan meningkatnya arus kedatangan wisatawan
lokal. Karena itu tidak heran melihat
vila dan perumahan bertebaran di Berastagi. (Secara administratif banyak
kawasan wisata di sana sebenarnya sudah termasuk wilayah Kecamatan Tigapanah ataupun Kecamatan
Simpang Empat, tapi publik mengenal tempat itu sebagai kawasan Berastagi). Tercatat, paling tidak terdapat belasan
perumahan/vila di Berastagi saat ini, antara lain Villa Daulat Indah, Mountain
View Village, Taman Sibayak, Berastagi Indah, Taman Intan, Bukit Asri, Gitar
Mas, Bukit Mas, Mutiara Asri, Berastagi
Emas, Bukit Indah, Taman Manchester. Ini
belum termasuk vila pribadi dan mess yang total jumlahnya mencapai seratus
lebih.
Berastagi masih
mempesona, itu pasti. Tinggal sekarang
bagaimana cara menjual pesonanya dengan tepat dan ‘manis’ sehingga Berastagi
sebagai kota turis tidak lagi menjadi ironi.
Bagaimana kondisi kepariwisataan Berastagi pada tahun 2005 ini dan
tahun-tahun mendatang, tentu sangat tergantung kepada sikap pemerintah (pihak
Pemkab Karo) dan masyarakat (termasuk pelaku bisnis pariwisata) dalam usaha
mengembalikan Berastagi benar-benar sebagai kota turis.
SUMBER : Harian Sinar
Indonesia Baru (SIB), Senin 31 Januari 2005, Halaman 5.
Komentar
Posting Komentar