Jangan Sampai Masyarakat Dairi Hanya Jadi Penonton di Tengah “Tambang Dollar”
Penantian Panjang PT Dairi Prima
Mineral Menunjukkan Titik Terang
Jangan Sampai
Masyarakat Dairi Hanya Jadi Penonton di Tengah “Tambang Dollar”
Laporan :
Herry Suranta Surbakti SH,
Wartawan SIB
MESS : Mess
karyawan PT DPM di pinggiran hutan. (Foto SIB/Herry Suranta Surbakti)
TENGAH HUTAN : Rumah
panggung untuk karyawan yang melakukan eksplorasi di tengah hutan. (Foto
SIB/Herry Suranta Surbakti)
PERJALANAN : Perjalanan
melelahkan menuju lokasi rencana pengeboran untuk keperluan eksplorasi di
tengah hutan, belum lama ini. (Foto
SIB/Herry Suranta Surbakti)
“PT DPM
dalam melakukan kegiatannya dilindungi oleh undang-undang, sehingga seyogianya antara hukum, adat dan agama tidak
saling bertentangan. Namun harus diingat pula jangan sampai masyarakat hanya
menjadi penonton di sini.”
Pesan itu disampaikan mantan bupati
Dairi (1999-2009) DR Master Parulian Tumanggor pada Senin 23 April 2007 dalam
acara “Pesta Sodip” Sulang Silima Marga Cibro di Desa Tungtung Batu Kecamatan
Silima Punggapungga Kabupaten Dairi.
Bagaikan pisau bermata dua, kata-kata itu tidak saja ditujukan kepada
masyarakat, terutama warga di sekitar lokasi tambang, agar bersatu pendapat dan
menciptakan suasana kondusif atas kehadiran dan akan beroperasinya PT DPM,
tetapi juga mengingatkan perusahaan itu untuk tidak melupakan kepentingan
masyarakat. Dan pesan itu terasa masih relevan hingga kini.
PT Dairi Prima Mineral (DPM) adalah
perusahaan tambang yang 80 persen sahamnya dimiliki PT Bumi Resources Minerals
Tbk, 20 persen dimiliki BUMN PT Aneka Tambang.
Mereka mempunyai kontrak karya pertambangan seluas 27 ribu hektar yang
berlokasi di Kabupaten Dairi, persisnya di Kecamatan Silima Pungga-pungga dan
beberapa kecamatan di sekitarnya.
Sebelum diakusisi Bumi Resources pada tahun 2008, 80 persen saham DPM
tadinya dimiliki Herald Resources Pty Australia. Dalam perkembangannya, DPM kemudian
mendirikan kantor di Parongil, ibu kota Kecamatan Silima Punggapungga.
Sebelum memulai kegiatan pembukaan
jalan Parongil-Sopokomil yang akan digunakan sebagai jalan khusus menuju ke
areal tambang (jalan tambang) untuk keperluan eksplorasi, DPM sudah barang
tentu terus “merangkul” dan bekerja sama dengan masyarakat adat setempat,
terlebih lagi memang sempat muncul “gerakan-gerakan” penolakan di tengah
masyarakat terhadap kehadiran DPM, dengan alasannya masing-masing. Karena itulah terlebih dahulu digelar “Pesta
Sodip” Marga Cibro yang difasilitasi perusahaan, dihadiri pejabat pemerintahan
(Muspida) dan undangan lainnya. “Pesta
Sodip” merupakan acara budaya Pakpak sebagai permohonan dan meminta izin kepada
Tuhan sebelum memulai suatu tugas atau pekerjaan, sedangkan marga Cibro
merupakan pemegang hak adat atas tanah yang berada di lokasi DPM tersebut. Jalan Parongil-Sopokomil itu sendiri kini
sudah lama selesai dan telah dipergunakan DPM.
Bagi masyarakat Parongil dan Silima
Punggapungga, kehadiran perusahaan besar itu otomatis mendongkrak nama daerah
(kampong). Betapapun, kini Silima Pungga-pungga dianggap vital karena menyimpan
potensi besar. Tidak hanya itu, gairah
perekonomian masyarakat, khususnya di Parongil dan desa-desa sekitar lokasi
tambang, juga pelan-pelan mulai terasa, meski belum bisa dikatakan mengalami
peningkatan yang signifikan. Silima
Punggapungga sendiri merupakan satu dari 15 kecamatan di Kabupaten Dairi, mempunyai
luas 83,40 km per segi dengan jumlah penduduk (sesuai hasil sensus penduduk
2010) sejumlah 12.595 orang (6.188 laki-laki, 6.407 perempuan). Kecamatan ini terdiri dari 1 kelurahan dan 15
desa yaitu Kelurahan Parongil, Desa Bakal Gajah, Bongkaras, Bonian, Lae Ambat,
Lae Pangaroan, Lae Panginuman, Lae Rambong, Longkotan, Palipi, Polling
Anak-anak, Siboras, Siratah, Sumbari, Tuntung Batu dan Uruk Belin. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan
Siempat Nempu Hilir, sebelah Timur dengan Kecamatan Lae Parira, sebelah Selatan
dengan Kabupaten Pakpak Bharat dan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, sebelah
Barat berbatasan dengan Provinsi NAD.
Nah.
Di bagian Selatan dan Barat yang merupakan pegunungan dengan hutan lebat
itulah terdapat kandungan bahan tambang mineral berupa seng, timah hitam dan perak. Kini kawasan pegunungan tersebut (termasuk di
dalamnya 37 hektar kawasan hutan lindung register 66 Batu Ardan) masuk dalam
kontrak karya DPM.
Namun DPM hingga saat ini masih
sebatas melakukan kegiatan eksplorasi, belum berproduksi atau eksploitasi,
sebab persetujuan prinsip dan izin pinjam pakai kawasan hutan lindung (untuk
kegiatan penambangan) belum keluar.
PERPRES 28 TAHUN 2011
Manajer CSR
(Coorporate Social Responsibility) PT DPM Jonny Lingga didampingi sejumlah staf
perusahaan dalam pertemuan dengan rombongan DPRD Dairi dipimpin Wakil Ketua Ir
Benpa Hisar Nababan dan disertai wartawan SIB, awal Agustus lalu di kantor DPM
yang sederhana di Parongil mengatakan, kotrak karya DPM saat ini adalah kontrak
karya generasi kedelapan. Hal itu masuk
akal karena sebenarnya perusahaan tersebut telah hadir sejak 1998 dan melakukan
penyelidikan umum setelah mengantongi kontrak karya Nomor B.53.Pres/1/1998
tertanggal 19 Januari 1998 yang ditandatangani Presiden. Di kontrak karya itu
disebutkan luas arealnya 27.420 hektar.
Namun
bertahun-tahun menunggu, DPM tidak kunjung bisa beroperasi karena izin pinjam
pakai kawasan hutan lindung tidak kunjung keluar dari Menteri Kehutanan
(Menhut), hal ini tentu saja terkait dengan masuknya 37 hektar kawasan hutan
lindung register 66 Baru Ardan di dalam kontrak karya mereka. Menteri Kehutanan sendiri tidak “berani”
mengeluarkan izin pinjam pakai sebelum adanya “payung hukum” yang mengatur hal
itu.
“Hingga saat
ini sudah sekitar 98 juta US dollar investasi yang ditanam, dengan kondisi
seperti ini tak mungkin lagi kita mundur,” ujar Bangun Simamora ketika masih
menjabat Community Relations and Development Manager PT DPM, Januari 2009
kepada wartawan. Maksudnya, perusahaan akan terus menunggu hingga izin keluar.
Dan akhirnya
pada pertengahan Mei lalu, penantian panjang itu menunjukkan titik terang. Pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden
(Perpres) Nomor 28 Tahun 2011 tentang penggunaan kawasan hutan lindung untuk
penambangan bawah tanah. Perpres yang terdiri dari VII bab dan 19 pasal dan
merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang
penggunaan kawasan hutan itu lah yang menjadi payung hukum bagi Menhut untuk
mengeluarkan izin pinjam pakai kawasan hutan lindung.
Pada pasal 2
ayat (1) Perpres 28 disebutkan, “Di dalam kawasan hutan lindung dapat dilakukan
kegiatan penambangan dengan metode penambangan bawah tanah”. Ayat (2),
“Penggunaan kawasan hutan lindung untuk kegiatan penambangan bawah tanah
dilakukan tanpa mengubah peruntukan dan fungsi pokok kawasan hutan
lindung”. Dengan demikian jelas bahwa
penambangan di hutan lindung harus dilakukan dengan metode penambangan bawah
tanah (underground mining)
Selanjutnya
pada pasal 3 ayat (1) disebutkan, “Penggunaan kawasan hutan lindung untuk
kegiatan penambangan bawah tanah harus mendapat izin dari Menteri”. Maksudnya
adalah Menhut. Ayat (2), “Izin
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan melalui dua tahap yaitu a.
persetujuan prinsip dan b. izin pinjam pakai kawasan hutan lindung”. Artinya, agar DPM dapat beroperasi, terlebih
dahulu harus mendapat izin dari Menhut dalam dua tahap yaitu persetujuan
prinsip dan izin pinjam pakai. Persetujuan prinsip berlaku dua tahun dan (bila
dianggap memenuhi syarat) selanjutnya dikeluarkan izin pinjam pakai kawasan
hutan lindung yang berlaku selama 20 tahun.
Kedua izin tersebut dapat diperpanjang.
Menurut
Jonny, saat ini pihaknya tengah mengajukan proposal persetujuan prinsip kepada
Menhut. Bila semua proses berjalan lancar, kemungkinan 2013 nanti DPM sudah
bisa mulai berproduksi. “Ini tambang
mineral yang teknologinya hampir 100 persen dari luar, ini pertama di Indonesia
karena belum ada penambangan timah hitam,” ujarnya. Karena itu nantinya DPM akan menggunakan
tenaga kerja asing sebanyak 30 hingga 40 orang, tergantung berapa yang
disetujui pemerintah. “Setiap tenaga
kerja asing yang disetujui pemerintah pusat harus didampingi tenaga kerja
Indonesia dan ini tiap tahun dilaporkan, sebab sesuai peraturan, jumlah tenaga
kerja asing ini nantinya makin lama makin berkurang, jadi ada semacam transfer ilmu kepada tenaga kerja kita,”
jelasnya.
Namun tentu
saja DPM sebelum beroperasi harus terlebih dahulu melalui tahapan
konstruksi. Pada tahap konstruksi ini
diperkirakan terjadi lonjakan tenaga kerja karena kebutuhan akan karyawan untuk
pembangunan sarana-sarana yang diperlukan termasuk kantor, perumahan, pabrik,
gudang dan prasarana lainnya.
MELEWATI 5
KABUPATEN/KOTA
Jonny
menambahkan, hasil pengolahan tambang tersebut nantinya berupa semacam tepung
(bubuk) atau powder yang berwarna hitam.
Jadi terdapat tiga macam hasil tambang nantinya yakni seng, timah hitam
dan sedikit perak. Timah hitam mayoritas
digunakan untuk bahan baterai (seperti baterai mobil, aki dan lainnya),
sedangkan perak umumnya untuk perhiasan.
Hasil olahan berupa bubuk berwarna
hitam itulah selanjutnya dikemas dan diangkut dengan truk ukuran kecil melalui
jalan darat melewati 4 kabupaten dan 1 kota, dengan tujuan pelabuhan Kuala
Tanjung di Kabupaten Batubara. Jadi
rutenya adalah Kabupaten Dairi-Kabupaten Karo-Kabupaten Simalungun-Kota
Siantar-Kabupaten Asahan-Kabupaten Batubara.
Kenapa tidak ke Belawan atau Medan?
“Terlalu jauh,” katanya. Lagi pula pilihan jalur darat menuju pelabuhan Kuala
Tanjung tersebut bukanlah opsi yang pertama.
Awalnya direncanakan hasil tambang dibawa ke Singkil Provinsi NAD karena
dekat dengan laut. Pun, jaraknya dekat
dan tidak banyak memakai jalan umum, melainkan melewati hutan. Perusahaan telah minta izin ke Aceh dan sudah
disosialisasikan, namun pemerintah Provinsi Sumut tidak setuju, dengan alasan “kenapa harus ke Aceh?”. Pada
perkembangan selanjutnya terjadi pula tsunami yang diikuti gempa berulang-ulang
di Aceh yang menyebabkan rencana itu dikaji ulang dan akhirnya dibatalkan. Ada
pula opsi pengangkutan dengan helikopter, namun hal ini dianggap menyebabkan
rasa kurang nyaman masyarakat.
Lingga buru-buru menepis kekhawatiran
sejumlah pihak soal kemungkinan Dairi menjadi lautan lumpur seperti di
Sidoarjo. “Alam di Dairi tidak sama
dengan Sidoarjo yang berlumpur.
Sedangkan di Sumut agak kokoh dan keras karena berada di pegunungan
Bukit Barisan,” katanya. Ia menambahkan, pihaknya sedang membuat maket
berukuran sekitar 2x3 meter persis
seperti keadaan sebenarnya di pegunungan/hutan tempat kegiatan tambang
tersebut, lengkap dengan pernak perniknya, meski dengan skala kecil. Dengan
demikian masyarakat bisa tahu gambaran keadaan sebenarnya.
Dan bila DPM sudah beroperasi,
tahukah anda berapa kira-kira dana yang dibagikan kepada Pemerintah Kabupaten
Dairi setiap tahunnya? Kira-kira Rp 30 miliar. Bayangkan. Padahal, PAD
Kabupaten Dairi saat ini hanya sekitar sepertiga jumlah tersebut. “Untuk
pemerintah oke lah, sudah terukur, tapi untuk masyarakat? Jangan sampai
masyarakat hanya jadi penonton di tengah tambang Dollar,” ujar Benpa.
Ya, jangan sampai.
Sumber : Harian Sinar
Indonesia Baru (SIB).
Komentar
Posting Komentar