Cerita yang bagus dapat menyebabkan pikiran segar, otak netral dan bebas dari gangguan virus galau
Cerita yang bagus dapat menyebabkan pikiran segar, otak netral dan bebas dari gangguan virus galau.
BU
GENI DI BULAN DESEMBER
Oleh
Arswendo Atmowiloto
Bagi Bu Geni, semua bulan adalah Desember. Bulan
lalu, sekarang ini, atau bulan depan berarti Desember. Maka kalau berhubungan
dengannya, lebih baik tidak berpatokan kepada tanggal, melainkan hari. Kalau
mengundang bilang saja Jumat dua Jumat lagi. Kalau mengatakan tanggal 17, bisa
repot. Karena tanggal 17 belum tentu jatuh hari Jumat. Kalau memesan tanggal
17, bisa-bisa Bu Geni tidak datang sesuai hari yang dijanjikan.
Masalahnya banyak sekali yang berhubungan dengan
Bu Geni. Semua penduduk yang ingin mengawinkan anaknya, pilihannya hanya satu:
Bu Geni, juru rias pengantin. Banyak perias pengantin lain, tapi tak bisa
menyamai Bu Geni. Bahkan setelah banyak salon, pilihan tetap pada Bu Geni.
Menurut yang
sudah-sudah, Bu Geni bukan perias biasa. Beliau mampu mengubah calon pengantin
perempuan menjadi sedemikian cantiknya sehingga benar-benar manglingi, tak
dikenali lagi. Salah satu keistimewaan beliau adalah menyemburkan asap rokok ke
wajah calon pengantin. Menurut tradisi, katanya ini disembagani, dijadikan
seperti kulit tembaga. Bukan emas. Hampir semua perias pengantin memakai cara
yang sama, namun tak ada yang menyamai kelebihannya. Pernah dalam satu hajatan,
tuan rumah pingsan karena disangka anak perempuan yang dinikahkan kabur. Ibu
calon pengantin pingsan, bapak calon pengantin malu, dan sanak saudara mulai
mencari ke teman-temannya. Padahal, sang calon pengantin ada di rumah. Bahkan
setelah ditemukan, ibu calon pengantin masih menolak: ”Itu bukan anak saya. Itu
bukan anak saya.”
”Ya sudah kalau bukan anakmu, berarti anakku. Ayo
kita pulang.”
Baru kemudian ibu calon pengantin sadar, dan
mengatakan: ”Bagaimana mungkin anakku bisa secantik ini?”
Padahal Bu Geni tidak selalu menyenangkan. Suara
keras, dan membuat pendengarnya panas. ”Ini anak sudah hamil. Kenapa kamu
sembunyikan. Kenapa malu? Mempunyai anak, bisa hamil itu anugerah. Bukan
ditutup-tutupi, bukan dipencet-pencet dengan kain. Itu kan anak kamu sendiri.”
Kalau tak salah, kejadian itu berlangsung di
rumah Pak Bupati. Sehingga, kabar menyebar dan masih tergema, jauh setelah
peristiwa itu usai. Pernah pula nyaris menggagalkan upacara perkawinan hanya
karena Bu Geni melihat wajah calon pengantin suram. Biasanya dua atau tiga hari
sebelumnya, Bu Geni memerlukan bertemu langsung dengan calon pengantin
perempuan. Kenapa bukan dengan calon pengantin laki-laki? ”Lho kan nasib dia
berasal dari sini.”
Sewaktu ketemu calon yang dianggap berwajah
muram, Bu Geni berkata: ”Tak bisa, kamu harus ceria dulu.” Padahal, undangan
sudah disebar. Tempat resepsi sudah diberi uang muka. Yang lebih penting lagi,
makanan sudah dipersiapkan. Kisah ini menjadi biasa kalau berakhir dengan
pembatalan. Yang tak biasa adalah dua hari kemudian ada bis terjun ke jurang.
Menurut perhitungan, kalau benar perkawinan diadakan tanpa pembatalan,
kemungkinan besar calon pengantin pria masuk jurang, karena memang rencananya
naik bis itu pada jam itu. Kisah Bu Geni bersambung ketika diminta merias anak
menteri—mungkin menteri koordinator, tapi menjawab: ”Anaknya suruh ke sini
saja. Kalau saya tinggalkan yang di sini, banyak yang dirugikan.”
Pada tanggal 17 Agustus kemarin, warga sekitar
kediamannya menunggu, apakah Bu Geni akan memasang bendera merah putih di
rumahnya. Karena dalam perhitungan Bu Geni itu sama dengan 17 Agustus. Ternyata
Bu Geni menyuruh pasang. ”Apa salah kalau mengibarkan bendera tanggal 17
Desember?”
Para pejabat di desa ikut gembira, karena kalau
Bu Geni tidak mengibarkan bendera pada peringatan kemerdekaan bisa jadi
masalah. Tanggal 31 Desember berikutnya Bu Geni tidak berkeberatan ada pesta di
rumahnya. Namun esok harinya tidak berarti tahun baru, melainkan 1 Desember
lagi. Banyak yang mengatakan itu ngelmu Bu Geni sehingga selalu tampak muda.
Dan Bu Geni memang selalu nampak sama, ketika seorang tetangga dirias, sampai
anaknya dirias juga. Wajah dan penampilannya tetap sama. Ini bisa dibuktikan
dengan potret yang diambil saat itu, dan 20 tahun berikutnya. Atau mungkin juga
20 tahun sebelumnya.
”Perkawinan adalah upacara yang paling tidak
masuk akal, sangat merepotkan. Kalian semua ribut memperhitungkan hari baik,
pakaian seragam apa, dan itu tak ada hubungannya dengan perkawinan itu sendiri.
Lihat saja mereka yang pidato saat perkawinan, yang memberi wejangan, itu yang
paling membosankan, paling tidak didengarkan. Tapi selalu diadakan. Begitulah
perkawinan.” Agak aneh juga perkataan itu keluar dari Bu Geni, yang hidupnya
justru dari adanya upacara perkawinan. ”Ya memang aneh, perkawinan kan
keanehan. Karena yang aneh dianggap wajar, maka yang tidak menikah, yang janda
atau duda, malah dianggap aneh.”
Pada kesempatan berbeda, Bu Geni berkata: ”Jodoh
adalah kata yang aneh untuk menyembunyikan ketakutan atau hal yang tak berani
kita jawab. O, itu jodoh saya, biasanya orang bilang begitu. Atau kalau gagal,
o, itu bukan jodoh saya.” Lalu Bu Geni tertawa lama sekali. ”Memangnya jodoh
saya Pak Geni? Karena saya menikah dengan Pak Geni, itu jadi jodoh saya. Bukan
karena jodoh saya Pak Geni kemudian saya menikah dengan dia. Lain kalau saya
tidak jadi menikah dengan Pak Geni dulunya. Itu bukan jodoh saya.”
Kenapa dulu kawin dengan Pak Geni?
”Ya karena sudah waktunya kawin, seperti yang
lain.”
Berarti tidak atas dasar cinta ketika menikah
dengan Pak Geni?
”Seperti halnya jodoh, begitu kamu nikah ya itu
harus diterima sebagai cinta. Itu lebih penting. Karena kalau mengandalkan
cinta sebelumnya, bisa tidak langgeng. Yang kamu miliki itulah yang kamu
cintai, dengan cinta sebelumnya atau tidak.”
Pertanyaan itu terlontar, karena ada kabar Pak
Geni akan menikah lagi. ”Ya biar saja, nanti aku akan merias pengantinnya.”
Kalimatnya enteng, datar, nyaris tanpa emosi. ”Dilarang juga susah, dan tak ada
gunanya. Boleh saja.”
Mungkin itu sebabnya Bu Geni tetap bersedia
merias calon pengantin yang akan menjadi istri kedua, atau ketiga. ”Biarlah
orang merasakan kegembiraan sekali dalam hidupnya.” Bagi Bu Geni perkawinan
adalah kegembiraan, sukacita. ”Kalau saat kawin saja kamu tidak merasa gembira,
kamu tak akan menemukan kegembiraan yang lain.”
Menurut Bu Geni, tak ada perkawinan yang gagal,
karena perkawinan sendiri bukanlah keberhasilan. ”Yang diperlukan hanya sedikit
keberanian, dan banyak kebodohan, itulah modal kawin. Untuk bercerai,
diperlukan banyak keberanian dan sedikit kebodohan.”
Apakah Bu Geni pernah berpikir bercerai dengan
Pak Geni.
”Saya tak pernah memikirkan bercerai. Kalau ingin
membunuhnya, sering.”
Begitulah Bu Geni yang juru rias pengantin, telah
merias semua perempuan di desanya. Boleh dikatakan semuanya yang kawin dan yang
tidak. Yang terakhir ini dilakukan Bu Geni pada mayat perempuan yang meninggal
sebelum menikah. Sebelum dikuburkan, Bu Geni merias dengan komplet. Banyak yang
tidak setuju, banyak yang menyayangkan, banyak yang menjadi takut dirias.
”Ketakutan terwujud pada perkawinan. Takut terlalu bahagia, terlalu bebas,
terlalu nikmat, makanya kita mengikatkan diri pada perkawinan yang banyak
mengatur tanggung jawab, mengatur kewajiban. Termasuk memberi nafkah,
membesarkan anak-anak. Aneh saja, tapi pada dasarnya kita takut dengan
kebahagiaan diri kita sendiri, dan membatasi dengan adanya kuasa Tuhan.”
Meskipun mengatakan bahwa penemuan manusia yang
paling membelenggu dan menakutkan adalah perkawinan, Bu Geni masih terus merias
dengan mengepulkan asap rokok. Bagi seorang yang mampu menciptakan waktu untuk
diri sendiri—meskipun masih terikat pada bulan Desember, Bu Geni bisa merias manusia,
mayat, juga pernah merias patung pengantin dan pepohonan juga kerbau. Bu Geni
juga memberi sembaga, sama seriusnya dengan berpuasa sebelum merias. ”Biarkan
kerbau merasakan kegembiraan. Sebagaimana yang kita percayai selama ini bahwa
perkawinan adalah kegembiraan.”
Semua ini, untunglah hanya terjadi pada bulan
Desember.
Sumber : Harian Kompas, Minggu 20 Mei 2012, Halaman 20.
Komentar
Posting Komentar