Rumah Tradisional Karo “Siwaluh Jabu’ di Desa Lingga Kini Sepi Pengunjung





* Padahal Ia Menyimpan Misteri Sejarah, Peninggalan Leluhur Berusia Ratusan Tahun

 Laporan : Herry Suranta Surbakti, Wartawan SIB




           Untuk sebuah kunjungan dan perjalanan (wisata) budaya yang mengesankan, cobalah datang ke Desa Lingga Kecamatan Simpang Empat Tanah Karo.  Berjarak sekitar 5 km sebelah Barat Kabanjahe (ibu kota Kabupaten Karo), di Desa Lingga akan ditemui rumah tradisonal Karo yang dikenal dengan ‘Rumah Siwaluh Jabu’.  Melihat keberadaan ruang dan bangunan peninggalan leluhur etnis Karo yang telah berusia ratusan tahun ini tak ubahnya seperti menyaksikan museum yang menyimpan misteri sejarah.  Rumah adat Karo ‘Siwaluh Jabu' bahkan hingga kini tetap menjadi topik yang menarik bagi para peminat dan pelaku arsitektur.

          Terdapat sekitar delapan rumah adat di Desa Budaya Lingga saat ini, rata-rata sudah berusia ratusan tahun.  Empat di antara rumah adat asli itu masih ditinggali warga sedangkan empat rumah adat sisanya tidak lagi dihuni karena kondisi rumah yang sudah tak layak huni.   Sabtu pekan lalu wartawan SIB datang lagi ke desa Lingga yang oleh Pemkab Karo dikategorikan sebagai desa budaya itu, untuk melihat kondisi rumah adat ‘Siwaluh Jabu' dan segi-segi kepariwisataannya kini.  Kesan pertama begitu sampai di lokasi adalah suasana sepi dan bisu. yang didapati di rumah adat Karo ‘Siwaluh Jabu’, sebuah kebisuan yang asing.  Warga yang lewat dari sekitar rumah adat itu hanya satu dua, mungkin dari atau hendak ke ladang, tapi  tak ada seorang pun pengunjung atau turis, baik wisatawan local maupun turis mancanegara di sana.  Suasana di sekitar rumah adat 'Siwaluh Jabu' terasa begitu senyap tanpa adanya suara keramaian.

Satu hal yang terlihat berbeda adalah, beberapa rumah adat ‘Siwaluh Jabu’ itu tampak lebih ‘cerah’ dan lebih ‘baru’ dibanding biasanya.  Ternyata, sesuai keterangan penduduk yang tinggal di 'Rumah Siwaluh Jabu' itu, sejumlah bangunan rumah adat di sana baru beberapa bulan lalu selesai ‘diperbaiki’ dan dicat oleh pihak dinas terkait.  Bagian dinding bangunan yang sudah terlihat kusam, terutama dinding bagian luar yang berhiaskan motif dedaunan dengan aneka warna,  dicat. Begitu juga dengan ijuk atap bangunan yang sudah usang, diganti dengan ijuk yang baru.  Namun di bagian dalam rumah, terbilang tidak banyak yang diperbaiki.  Sekitar sepuluh menit berselang setelah kami duduk-duduk di bagian bawah rumah adat, dua orang penghuni salah satu ‘Rumah Siwaluh Jabu' turun ke luar, menyapa dan menghampiri kami, selanjutnya kami terlibat pembicaraan santai di bawah rumah adat itu.

Rumah adat Karo ‘Siwaluh Jabu' mempunyai ciri dan rupa yang khas, berupa rumah panggung yang tingginya kira-kira hampir 2 meter dari permukaan tanah, berdiri di atas tiang yang umumnya berjumlah 16 buah dan terbuat dari kayu berukuran besar.  Dengan bentuk bangunan yang besar dan luas (panjang rumah sekitar 12-13 meter dengan lebar sekitar 8-9 meter) dan atap rumah yang terbuat dari ijuk, niscaya tinggal di dalam  'Rumah Siwaluh Jabu' terasa sangat nyaman.  Walau ruangannya cukup luas, namun tidak terdapat kamar-kamar, melainkan hanya semacam ‘sekat’ yang memisahkan masing-masing ‘jabu’ (keluarga), sebab dalam satu rumah besar itu dihuni enam sampai delapan atau lebih keluarga, karena itu pulalah rumah adat Karo disebut dengan ‘Rumah Siwaluh Jabu’.

             Rumah tradisional Karo ini mempunyai dua buah pintu yang tingginya masing-masing hanya sekitar 1 meter dan lebar sekitar 75 cm, satu pintu menghadap ke Barat dan satu lagi  ke sebelah Timur.  Karena pintu terbilang kecil, setiap orang yang masuk harus menundukkan kepala, dan itu merupakan simbol tanda hormat.  Di depan masing-masing pintu terdapat serambi yang disebut ‘ture’, dibuat dari bambu-bambu bulat.  ‘Ture’ digunakan sebagai tempat untuk bertenun, menganyam tikar atau sesuai cerita orang tua kampung itu, ‘ture’ juga sering menjadi tempat berkenalan dan bertemunya muda-mudi.  (Sebuah lagu pop Karo terkenal yang berjudul ‘Bulan Siamcem-macem’ bercerita dengan manis tentang ‘ture’ ini, “Oh bulan, bulanna si macem-macem, I datas ture, mbayu aku janah rende.  Kuendeken, ateku tedeh nandangi kena, man nande nangin si nggo ndauh I perlajangen …”)

            Adapun atap rumah dibuat dari ijuk, dan di kedua  ujung atapnya terdapat segitiga yang disebut ‘ayo-ayo’. Pada puncak ayo-ayo terdapat tanduk atau kepala kerbau dengan posisi menunduk ke bawah.    Sedangkan kolong rumah yang terbilang lapang tersebut sering dimanfaatkan sebagai tempat menyimpan kayu ranting untuk memasak atau sebagai tempat kandang ternak.   Kebanyakan rumah adat yang masih ditinggali di Karo, sebutlah di Desa Dokan, Peceren dan Desa Lingga ini,  warga penghuninya tetap meneruskan tradisi yang sudah dilaksanakan secara turun-temurun dan tidak berpaling kepada arus modernisasi, katakanlah mereka tidak memanfaatkan listrik sehingga rumah tradisional ini tetap terlihat antik sebagaimana adanya.






Memang sesuai dengan buku pariwisata yang dikeluarkan Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kabupaten Karo, disebutkan bahwa selain di Desa Lingga Kecamatan Simpang Empat tersebut masih terdapat rumah adat ‘Siwaluh Jabu’ di beberapa desa lain, yaitu Desa Dokan Kecamatan Merek dan Desa Peceren (Sempajaya) Kecamatan Berastagi.  Namun menurut keterangan dari banyak orang tua, rumah adat yang tertua yang masih tertinggal  hingga kini, terdapat di Desa Lingga tersebut.

Meski demikian, daya tarik Desa Lingga sebagai desa budaya tampaknya belum termanfaatkan secara maksimal, terbukti dari sedikitnya jumlah pengunjung dan wisatawan yang datang berkunjung.    Warga Desa Lingga  menyebutkan bahwa jumlah kunjungan wisatawan baik domestik maupun turis mancanegara sangat minim, untuk tidak mengatakan tidak ada, selama beberapa tahun belakangan ini.  N Sembiring, warga yang ditemui wartawan di rumah adat tradisional Karo ini menyebutkan bahwa dalam beberapa bulan terakhir ini sama sekali tidak ada turis yang datang melihat ‘Rumah Siwaluh Jabu’.

Padahal pada beberapa tahun yang silam, apalagi belasan dan puluhan tahun lalu sebelum gelombang krisis moneter menghantam perekonomian Indonesia pada pertengahan 1990-an disusul dengan peristiwa peledakan bom di Bali yang mengguncang iklim pariwisata nasional,  desa budaya Lingga ini hampir setiap hari (paling tidak beberapa hari dalam seminggu) ramai oleh kedatangan wisatawan lokal maupun mancanegara.  Kerap juga dulu ditampilkan atraksi dan tarian tradisional Karo kepada pengunjung yang datang.  

“Dulu itu, hampir setiap Minggu ada saja turis yang datang dengan bus-bus pariwisata yang besar, banyak juga yang datang sendiri-sendiri atau bersama rombongan kecil, kampung ini jadi ramai.  Tapi sudah hampir tujuh tahun ini turis yang datang sedikit sekali, makanya lambat-laun kelompok hiburan yang ada pun hilang atau bubar,” ujar N Sembiring menerangkan.   “Beberapa bulan lalu, di rumah ini memang agak ramai juga karena  kelompok mahasiswa dari Medan yang praktek di sini, memilih tinggal di 'Rumah Siwaluh Jabu'.  Mereka selama beberapa minggu tinggal di rumah adat ini,” katanya lagi menambahkan. 

Mengingat perkembangan zaman yang melesat begitu cepat ini, berkunjung ke Desa Lingga merupakan sebuah perjalanan budaya yang tak ubahnya menoleh jauh ke belakang.  Dalam kebisuan suasana di sekitar rumah tradisional ‘Siwaluh Jabu’ pada Sabtu siang itulah kami seakan tersadar,  hasil budaya berusia ratusan tahun ini harus tetap dilestarikan.   Selalu saja muncul semacam rasa takjub ketika melihat rumah adat ‘Siwaluh Jabu’ ini, terlebih bila dikaitkan dengan nilai-nilai religius maupun tradisional masyarakat Karo yang melingkupinya.  Kadang terasa magis, juga  misterius, karena ia memang menyimpan sebuah misteri sejarah.

Dimuat di Harian SIB, Juni 2005.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sebulan Berlalu, Kasus Pembunuhan Novalina br Purba Siswi SMAN 1 Sidikalang Belum Terungkap

DIHADIRI LIMA RIBU ORANG, PUNCAK PERAYAAN PESTA JUBILEUM 50 TAHUN GKPPD SUMBUL PENUH SUKACITA

BPP Mamre GBKP Puji Pengurus Klasis Riau-Sumbar yang Teratur Gelar RPL